30.11.08

Fooled by nature!



Itu adalah pernyataan paling tepat untuk menggambarkan keadaanku Samarinda sekarang. bencana banjir melanda, mengubah Samarinda menjadi lautan, akses jalan menjadi sulit. Lengkap penderitaan warga, disaat curah hujan meningkat hingga 30-50 mm/hari bertepatan dengan jadwal pasang laut, ditambah kebijakan pemerintah membuka sedikit pintu air d Bendungan Benanga, agar tetap menjaga keseimbangan air. Seharusnya, air yang dibendung di hilir kota Samarinda ini akan mengalir menuju hulu, memenuhi Sungai Mahakam. Namun sayang, pada kenyataannya, air tergenang dalam cekungan antara hilir dan hulu ini, bagian Samarinda Utara. Dan tentu saja itu semua belum lengkap dengan bonus, ada 3 ekor buaya yang masih berkeliaran entah dimana.
Bulan-bulan ini, dipenuhi dengan curah hujan yang semakin meningkat, tetapi tidak dapat ditentukan dengan pasti jadwal turunnya hujan itu. Di siang hari matahari bersinar terang seperti biasanya, sehingga membuat warga gembira karena air yang membanjiri mulai surut. Mereka mulai membersihkan rumah, kendaraan dan bahagia dapat mengakses kembali jalan-jalan yang biasa dilalui. Tetapi ternyata, kebahagiaan itu hanya sebentar! Karena seperti biasanya, menjelang sore, matahari terik membakar itu tiba-tiba menghilang tergantinkan dengan awan mendung gelap. Tak lama kemudian, petir menyambar-nyambar disusul tumpahan air yang tidak berhenti sampai 1-2 jam kedepan!
Dalam sekejab air kembali menggenangi jalan raya, pekarangan dan ruang tamu! Dalam sekejap, rumah yang tadinya sudah nyaman kembali harus menjadi kolam renang.
Mereka yang merasa tertipu, termasuk aku hanya bisa mengelus dada. Bagaimana mungkin kita bisa lolos dari tipuan alam? Karena kita tak akan tahu pasti apa yang akan terjadi.
Dan kini, lantai rumahku yang baru saja bersih dari air banjir dan lumpur kembali menjelma menjadi kolan renang pribadi.
Dan tipuan alam tak berhenti sampai di situ, sekejab menenggelamkan, sekejap pula air itu pergi, meninggalkan lumpur yang tadi ikut bersamanya. Kembali mengotori lantaiku.
Malamnya, bulan purnama bersinar terang, ukurannya besar, menandakan air akan kembali pasang. Para penghuni alam mengerti hal itu, mereka sudah kabur terlebih dulu. Contohnya saja kecoak, mereka yang sudah dicap ‘Punah’ di dalam rumahku, tiba-tiba nongol kembali. sudah jelas alasannya karena rumah mereka terganggu, dan tersangka utama sudah pasti air.
Kodok dan katak pun, mengirimkan sinyalnya, di tengah-tengah kumpulan lumpur berair itu mereka kembali menyanyikan lagu gembira pemanggil hujan yang sangat ampuh.
So, kini aku tak dapat berbuat apapun. Rumah yang penuh lumpur ini, hanya disiram seadanya, karena kemungkinan turun hujan deras selanjutnya sangat besar.
Namun aku tetap berharap dan berdoa, semoga ujian ini cepat berlalu, karena bukan hanya rumahku yang menjadi korban, warga lain juga sama saja, bahkan ada yang lebih parah dari ini semua.
Yah, semoga ini cepat berakhir, agar rumahku kembali menjadi istanaku…
[Hoping…. Ditengah-tengah kerumunan nyamuk yang kelaparan, suara merdu para katak, lantai yang bermandikan lumpur dan kamar yang menjelma menjadi gudang]-----still hoping…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar